Jumat, 10 September 2010

Kritik Sosial Masyarakat Batak Toba

by.gr.abner panjaitan
Dalam kehidupan masyarakat Batak, dalihan natolu dan suhiampang na opat menjadi pendukung utama. Kritik mengenai kehidupan sosial di masyarakat Batak, kita akan mencoba melihatnya yang diawali dengan susunan kemasyarakatan.
Terbentuknya suatu masyarakat berdasarkan adanya suatu keluarga pimpinan keluarga dasar adalah Ama, sejajar dengan berkembangnya huta ditandai dengan bertambahnya rumah sehingga terbentuknya kampung(huta). Kepala keluarga menjadi berganti nama menjadi Tunggane huta(raja huta), huta dengan luas tertentu terdiri dari dua bagian yaitu bagian laur huta disebut dengan Balian, bagian dalam disebut Huta. Didalam kampung pada umunya sebelah kanan gerbang masuk ditanam pohon beringin, dibawah pohon beringin tersebut ditata sedemikian rupa menjadi tempat duduk, baik dari batu maupun dari tunggul-tunggul kayu menjadi tempat bersidang penghuni huta, maka tempat ini sering disebut dengan istilah PARTUNGKOAN, partungkoan digunakan sebagai tempa musyawarah tetapi digunakan juga tempat untuk melepaskan lelah.
Dalam sejarah nabi Yeremia juga mempergunakan tempat ini untuk menyampaikan pidato di pintu gerbang bait Suci(lih Yer 8.1.ff). Parik nihuta artinya aturan-aturan atau hukum adat yang melidungi seisi kampung, harbangan adalah membolehkan orang lain masuk apabila sikap prilakunya sesuai dengan adat istiadat huta dan melarang orang lain memasuki huta apabila bertentangan dengan adat istiadat yanng berlaku.
Bagi masyarakat Batak rumah adalah menjadi sumber pendidikan dan adat, demikian halnya dengan huta. Jika seseorang berbuat salah maka huta dengan seisinya akan turut menanggung malu dan hinaan dari luar huta. Dalihan natolu adalah penerapan kuasa Mulajadi na bolon di bumi ini, mereka yakin bahwa setiap pimpinan Batak Toba sejak dari siraja Batak sampai dengan raja Sisingamangaraja XII adalah merupakan titisan mulajadi na bolon dan mereka tidak mendirikan istana, karena menurut mereka istananya adalah rakyat itu sendiri. Raja Parbaringin berfungsi merencanakan dan menata mengenai bidang sosial politik dan keamanan rakyat, semua tona(perintah) dalam Kerajaan Batak dilaksanakan secara konsekwen apabila itu tidak dilaksanakan akan mendatangkan bala(musibah), maka orang Batak sulit sekali mengingkari amanah itu.
Tona/Amanah terbagi dua bagian, ada yang berbentuk tulisan dan ada yang tidak atau secara lisan. Namun yang berbentuk lisan yang paling dihargai oleh masyarakat Batak, seperti kata raja Batak yaitu; Hori ihot ni doton hata do si ingoton" yang berarti bahwa kata-kata itu sangat mahal harganya, karena apabila ada pelanggaran oleh seseorang akan terasa bagi hidupnya tidak sempurna atau kena bala bencana dari kuasa(mulajadi na bolon).
Pantu do hangoluan, tois hamagoan yang berarti barang siapa patuh akan hidup, serta barang siapa yang lalai(tois) akan tersesat atau binasa ini merupakan tingkah laku dan perbuatan yang buruk dan sangat jelek, semua yang dilakukan mempunyai hukum dan aturan, Adat na so mengge tu aek, na so mabiltak tu ari yang artinya patik dan hukum adalah kehidupan dan harta pustaka ke-batakan, patik dan hukum setiap hari bersama adat dan pergaulan hidup sehari-hari.
Adat atau patik dan hukum Batak bukanlah merupakan agama seperti agama Kristen, agama Islam, dll. Kata Agama adalah bahasa yang datang dari luar ke-batakan, jadi sebenarnya tidak ada yang dikatakan agama Batak. Orang Batak yang sebenarnya adalah hidup dalam adat saja, itulah yang disebut ke-batakan, artinya; bahwa ke-batakan adalah merupakan rupa atau bentuk kehidupan yang berasal dari sijolojolo tubu.
Raja do singkat ni dewata, raja wakin ni dewata artinya bahwa hak yang ada pada raja adalah berasal dari Tuhan, serta dengan demikian bahwa raja adalah wakil Tuhan dalam adat pemberkataan. Seluruh persekutuan yang ada adalah dirajai oleh adat, raja sebagai wakil Tuhan pemberi berkat, keselamatan sebagai mana dengan dalihan na tolu yaitu raja hulahula, raja dongan sahuta dan raja ni boru.
Pada umunya masyarakat Batak itu, sangat memperhatikan aturan atau hukum dimana setiap ada seseorang yang menghendaki masuk ke tempat tersebut maka harus diteliti dahulu bagaimana perilaku dia kalau perilaku atau tindakan lakunya tidak baik maka ia tidak diperbolehkan memasuki daerah itu agar nantinya masyarakat yang di daerah itu tidak ternoda oleh kebajikan serta kejahatan.
Pada masyarakat Batak dihimbau untuk tidak saling membedakan antara sesama, seperti kata pepatah"dolok marsitatapan, Rura marsitotopan" artinya yang miskin bergabung dengan yang miskin dan yang kaya bergabung dengan yang kaya. Inilah yang telah terjadi pada sebagian masyarakat Batak yang menganggap dirinya sudah memiliki segalanya, yang miskin tidak dihiraukan lagi dan terjadi penindasan antara kaum lemah dan kaum yang kuat. Mengenai yang kaya dan yang miskin dapat kita ketahui cerita Batak yang berjudul "Sutan Palaon dengan seorang yang miskin" dimana Sutan Palaon memiliki segala sesuatu di daerahnya tetapi ada juga yang belum dia miliki, ia terus bangga atas kekayaannya sehingga lupa pada sesamanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar